3 Followers
1 Following
onlywords

Words of a Bibliophile

"It's only words, and words are all I have, to take your heart away." —Bee Gees

Honeymoon with My Brother

Honeymoon with My Brother - Franz Wisner, Berliani M. Nugrahani Berkeliling dunia mungkin merupakan impian semua orang. Bagi Franz Wizner, berkeliling dunia adalah pelarian dari sakit hati yang dialaminya setelah diputuskan oleh wanita yang sudah dipacarinya selama sepuluh tahun tepat sebelum mereka menikah, belum lagi penurunan jabatan di tempat kerjanya. Tiket bulan madu untuk berdua telah tersedia, maka Franz mengajak adiknya, Kurt, untuk menghilangkan penatnya pikiran dengan melanglang buana keliling dunia. Kisah bulan madu yang unik itu dituangkan Franz dalam buku ini, diselingi artikel-artikel yang dikirimkannya ke sejumlah media sepanjang perjalanan.

Bila dibandingkan dengan memoar sejenis yaitu Eat Pray Love karya Elizabeth Gilbert yang saya baca lebih dahulu, Honeymoon with My Brother bernuansa lebih ringan dan humoris. Kedua pengarang sama-sama mengalami patah hati tapi kesedihan Franz nampaknya tidak separah Gilbert yang sampai menenggak pil anti depresi dan terpikir untuk bunuh diri. Nuansa spiritual dan pencarian Tuhan dalam Eat, Pray, Love juga tidak ada di buku ini. Apalagi Gilbert melakukan perjalanan seorang diri untuk kembali menemukan jati dirinya, tidak seperti Franz yang beruntung memiliki Kurt, adik yang awalnya tidak terlalu dekat dengannya tapi akhirnya menjadi sahabat sejatinya. Sayangnya interaksi antara kedua kakak beradik ini tidak sebanyak yang saya harapkan, mungkin karena mereka lelaki dewasa yang memang tidak biasa saling bertukar pikiran dan membuka hati.

Selain itu buku Franz terpaksa harus merangkum kisah napak tilas dengan lebih singkat karena cakupan perjalanan yang memang sangat luas, mulai dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, Amerika Latin hingga Afrika. Tidak seperti Gilbert yang fokus di tiga negara saja, Italia, India dan Indonesia, Franz dan Kurt menyempatkan diri singgah di berbagai negara di tiap benua. Oleh sebab itu catatan perjalanan Franz pun kadang terkesan terburu-buru karena sudah harus beralih ke tempat lain.

Namun persamaan kedua buku itu adalah penulisnya sama-sama berpikiran terbuka. Franz, yang memang sengaja memilih tempat tujuan di negara-negara Dunia Ketiga untuk menghemat biaya, dapat melihat keindahan alam dan keramahan penduduk di balik hal-hal buruk yang ada di suatu negara, seperti korupsi dan sistem pemerintahan yang bobrok. Di mata Franz kemiskinan tidak selalu berarti ketidakbahagiaan, karena di berbagai negara yang tergolong miskin ia menyaksikan orang-orang yang tidak putus asa dan tetap berusaha keras meski harus bergulat dengan keterbatasan. Ia belajar menghargai hal-hal yang ia miliki, dan semakin ingin melihat bagian-bagian dunia yang belum pernah ia jamah. Setelah perjalanan mereka usai, Franz dan Kurt kini tengah menjalani bulan madu berikutnya yang juga akan dituangkan dalam bentuk buku. Kita tunggu saja seperti apa petualangan mereka selanjutnya.