"Semua orang punya cerita. Itu seperti keluarga. Kau mungkin tak tahu siapa mereka, mungkin kau telah kehilangan mereka, tapi mereka tetap ada. Kau mungkin telah menjauh atau mungkin memunggungi mereka, tapi kau tak bisa berkata kau tak memiliki mereka.
...Tapi keheningan bukanlah lingkungan alami untuk cerita. Cerita membutuhkan kata-kata. Tanpa kata-kata cerita akan menjadi pucat, sakit, dan mati. Kemudian mereka akan menghantuimu." Demikianlah tiga hal yang menjadi kunci dalam buku ini: "cerita", "keluarga" dan "hantu". Cerita bermula saat pengarang terkenal Vida Winter yang sudah uzur dan sakit-sakitan ingin kisah hidupnya dituliskan oleh penulis biografi amatir, Margaret Lea. Cerita tersebut berputar di sekitar rumah tua keluarga Angelfield dengan para penghuninya yang eksentrik: Isabelle yang cantik, kakaknya Charlie yang punya kebiasaan-kebiasaan aneh, serta anak-anak Isabelle, si kembar Adeline dan Emmeline. Keluarga merupakan hal kedua yang penting dalam buku ini, karena keluarga Angelfield hidup terpisah dari masyarakat luar dan menyimpan banyak misteri. Belum lagi masalah hantu yang diduga berdiam di rumah tua tersebut dan menampakkan dirinya lewat benda-benda yang berpindah tempat, ruangan yang kuncinya terbuka sendiri, suara langkah kaki di malam hari sampai bayang-bayang yang berkelebat di sudut mata. Akankah seluruh misteri keluarga Angelfield terkuak, atau malah terkubur selamanya di balik reruntuhan rumah tua?
Margaret Lea yang ditugaskan menuliskan kisah tersebut pun menyimpan cerita sendiri. Mengaku lebih menyukai buku daripada manusia, ia tinggal di lantai atas toko buku milik ayahnya. Sebuah rahasia besar tersimpan selama bertahun-tahun dalam keluarga Lea, sebuah rahasia yang senantiasa membayangi setiap langkah Margaret. Seiring usahanya mengungkap kebenaran di balik sosok Vida Winter, Margaret pun harus menghadapi hantu-hantu pribadinya.
Margaret digambarkan sebagai kutu buku sejati yang menggemari novel-novel klasik seperti
Wuthering Heights,
Jane Eyre dan
Woman in White.
Jane Eyre sendiri disebut beberapa kali dan menjadi salah satu petunjuk untuk membongkar misteri yang ada. Saya sendiri cenderung terbayang-bayang
Wuthering Heights saat membaca kisah ini, meskipun saya membaca novel tersebut bertahun-tahun lalu dan sebagian besar isinya sudah tak lekat lagi di ingatan saya. Namun suasana rumah tua yang muram dan gelap serta tragedi keluarga yang terbawa hingga beberapa generasi mengingatkan saya pada buah karya Emily Brontë tersebut.
Terjemahan dalam
The Thirteenth Tale pun cukup baik dan membuat nuansa
gothic dan misterius tetap terjaga. Seperti halnya Margaret yang seringkali larut dalam bacaannya, niscaya novel ini mampu membuat pembacanya hanyut dalam untaian cerita. Tapi jangan lupa sesekali menengok ke balik pundak Anda. Siapa tahu sang hantu ada di sana...